Orang yang
rukyat, baik laki-laki, perempuan atau orang adil, harus menggunakan hasil
rukyatnya, namun ia dianjurkan untuk menyembunyikan. Akan tetapi ada yang
mengatakan, apabila tidak diterima oleh pemerintah, orang tersebut tidak wajib
menggunakan hasil rukyatnya. (Lihat: Tharhut Tatsrîb, juz 4 hlm 117 dan
Hâsyiyah Qulyûbî, juz 2 hlm 50)
2. Bagaimana hukum
orang yang mendapat berita tentang rukyat?
Apabila yang
rukyat orang adil, orang yang mendapat kabar harus mengikuti, baik ia percaya
atau tidak. Tetapi apabila orang yang rukyat tidak adil, orang yang menerima
kabar harus ikut apabila ia percaya.
3. Apakah orang yang
rukyatnya ditolak pemerintah harus memberi kabar kepada orang lain?
Belum menemukan
ada kitab-kitab standar yang membahas hal ini, akan tetapi secara tafaqquhan
(wacana fikih) bisa dikatakan, hukumnya tidak wajib dan tidak haram, kecuali
apabila dapat menimbulkan fitnah. Apalagi bila disampaikan pada orang lain atau
organisasi.
4. Bagaimana
seandainya terjadi memberi kabar, apakah orang tersebut mendapat pahala?
Pahala itu hanya khusus
untuk perbuatan yang diperintahkan agama, padahal sampai sekarang belum
ditemukan adanya perintah terhadap hal itu.
5. Apakah orang yang
tidak rukyat wajib bertanya pada orang yang dimungkinkan berhasil rukyat?
Dalam kitab
Qulyubi disebutkan, tetapi kurang jelas. Namun menurut kaidah tahshilu
sababil wujub (sarana mencapai wajib), tidak wajib. Maka secara lahir
hukumnya juga tidak wajib.
6. Bagaimana
fitrahnya orang yang lebarannya mendahului pemerintah?
Waktu fitrah itu
ikut keputusan pemerintah, atau yang umum diikuti masyarakat, walaupun ia tidak
mengikuti lebaran keputusan pemerintah.
7. Apa perbedaan
wajib secara umum dan wajib secara khusus?
Orang yang tidak
mengetahui bahwa hari itu sudah ada orang adil yang berhasil rukyat kemudian ia
tidak puasa, orang tersebut tidak wajib qadla'. Akan tetapi jika pemerintah
sudah memutuskan (puasa), tetapi ia tidak mengetahui keputusan tersebut,
kemudian ia tidak puasa, maka ia wajib qadla'.
8. Bagaimana hukum
orang yang menyembunyikan sikapnya yang tidak sesuai dengan keputusan
pemerintah?
Ikhfa' artinya
tidak menampakkan, dan ikhfa' memiliki dua macam:
Memperlihatkan
yang hanya diketahui bahwa Samoun tidak berpuasa, yang demikian ini tidak dapat
memberikan ulah.
Memperlihatkan
seraya mengadakan takbiran ramai-ramai, salat Id ramai-ramai, menampilkan syiar
hari raya (sesuai adat) secara ramai-ramai, yang diindikasikan sengaja ingin
beda dengan pemerintah, atau mengajak orang lain untuk seperti dirinya, apalagi
disertai dengan sengaja mengganggu orang yang tidak sama dengannya. Dan masih
banyak lagi.
Yang dimaksud ikhfa'
dalam beberapa kitab adalah ikhfa' yang menjadi lawa izhhar pada
nomor pertama. Adapun izhhar pada bagian kedua, saya belum menemukan
dalam kitab-kitab salaf dengan jawaban yang jelas, karena pada zaman dulu
memang belum ada. Namun, melihat semua tadi dapat menimbulkan polemik dan
perpecahan di antara sama-sama muslim, juga termasuk iftiyat terhadap
pemerintah, yang semuanya ini bisa menimbulkan kerugian, maka hukumnya bisa
dikatakan haram. Begitu juga memberi keterangan yang secara yakin atau zhan
dapat menimbulkan fitnah, atau memang disengaja untuk menimbulkan fitnah. Maka
semua ini hukumnya adalah haram.
9. Misalnya
pemerintah menetapkan hari raya pada hari Ahad (30 Ramadlan) dengan dasar
rurkyat, tapi pada malam Senin ternyata hilal belum dapat dirukyat, tanpa ada
mendung, atau dapat dirukyat tapi kondisinya berbeda dengan malam Ahad, atau
masih sangat rendah (tidak pantas untuk hilal tanggal dua) apakah kita wajib
qadla'?
Wajib qadla'
secara mutlak, secara lahiriyah redaksi-redaksi kitab yang ada tidak
menyaratkan ada penetapan kedua dari pemerintah.
10.
Bagaimana hukumnya berusaha rukyat?
Ulama berbeda
pendapat, ada yang mengatakan wajib dan ada yang berpendapat sunah.
11. Bagaimana sikap para ulama salaf ketika
mempunyai pendapat yang berbeda dengan pemerintah?
Yang saya
ketahui, ulama salaf lebih suka menunjukkan rasa persatuan dan tidak senang
bersiap beda dengan masyarakat.
12. Apakah pada masa rasulullah sudah dilakukan
usaha rukyat untuk menentukan awal Ramadlan dan Syawwal, dan apakah ada
perintah secara khusus?
Belum menemukan
perintah untuk rukyat dari nas Al-Qur'an atau Hadits secara jelas. Dan yang
sangat diperhatikan rasul bukan rukyat Ramadlan atau Syawwal, tapi rukyat awal
Sya'ban.
13. Dalam kitab-kitab disebutkan, bahwa hakim yang
menentukan penetapan rukyat harus adil (tidak fasik), bagaimana dengan kondisi
di negeri kita?
Syarat adil
adalah untuk hakim yang tidak dalam kondisi darurat dan kefasikannya sudah
diketahui oleh pejabat yang mengangkatnya. Atau belum diketahui, tetapi
seandainya diketahui ia tidak akan dipecat.
14. Pada tahun 1414 H, awal Ramadlan tidak
menggunakan dasar rukyat akhir Sya'ban, tapi menggunakan istikmal rukyat awal
Sya'ban. Bagaimana seandainya pada malam 30 Ramadlan (malam Ahad), juga malam
31 (malam Senin) tidak ada rukyat, apakah kita bisa menggunakan istikmal?
Istikmal
(menggenapkan 30 hari dari tanggal 1), memiliki kekuatan seperti kekuatan
tanggal satu. Artinya, jika tanggal satunya untuk kalangan umum, istikmal juga
untuk umum, jika untuk khusus, istikmal juga untuk khusus. Maka, jika pada
malam Ahad (30 Ramadlan), juga malam Senin (31 Ramadlan) tidak ada rukyat, kita
bisa lebaran hari Senin atas dasar istikmal. Sebab istikmalnya Sya'ban atas
dasar rukyah awal Sya'ban, walaupun seandainya pada rukyat awal Sya'ban tidak
ada itsbat qadli (penetapan hakim). Sebab itsbat tidak harus pada awal
bulan, tapi juga boleh pada waktu lainnya.
15. Bagaimana hukum salat Id-nya orang yang
lebarannya mendahului pemerintah?
Orang tersebut
sunah salat terlebih dahulu, dan mengulangi salatnya bersama-sama masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dan tunggu kunjungan balik dari saya. Tabik!